29 September, 2009

Bertanyalah.

Saya masih ingat bagaimana rasanya saat pertama kali menjalankan tugas mengajar. Dada berdegup-degup. Gembira dan bahagia karena merasa mendapat kepercayaan (meski gajinya kecil kalau dibandingkan kesempatan kerja yang saya tinggalkan). Saya buat persiapan sebaik-baiknya: bikin rencana pembelajaran yang cukup rinci; menyiapkan slide-slide (masih pakai transparansi waktu itu). Dan yang terpenting, menyiapkan penguasaan materi sebaik-baiknya agar tidak memalukan karena tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan di kelas.

Begitulah. Hari pertama mengajar di kelas betul-betul pengalaman yang exciting. Segala persiapan yang telah kulakukan rasanya cukup untuk membuat diri confident. Segalanya berjalan lancar, sebagaimana yang kuharapkan. Namun, tetap ada terselip perasaan was-was kalau-kalau ada mahasiswa yang iseng mencoba ngetes dosennya. Kalau ada yang mengajukan pertanyaan untuk ngetes saya, tentu berupa pertanyaan yang menyudutkan yang diperkirakannya tidak dapat saya jawab. Dan bila akhirnya saya benar-benar tidak bisa menjawab, wah kiamat ... sungguh-sungguh memalukan. Tidak sanggup saya, saat itu, membayangkan hal itu akan terjadi.

Cekaman bayang akan terjadinya hal itu sedikit banyak membuat saya tegang selama kuliah pertamaku. Meski demikian, beberapa kali saya berikan kesempatan kepada penghuni kelas untuk bertanya: "Ada yang mau bertanya?" Tidak ada tangan yang diangkat. Lega! Berarti mereka mengerti apa yang kubicarakan, dan tidak ada yang iseng mau ngetes. Begitulah kesimpulan yang kubuat sendiri atas situasi yang kuhadapi itu. Hingga akhirnya, di penghujung kuliah tersebut saya ulang lagi pertanyaan saya: "Ada pertanyaan?". Dan, tidak ada tangan yang diangkat lagi. Plong, begitu perasaan yang ada karena menganggap bahwa itu adalah kesuksesan pertama saya dalam mengajar. Mereka terlihat serius memperhatikan kuliah dan tidak sampai menimbulkan pertanyaan. Jadi saya anggap apa yang saya sampaikan telah jelas bagi mereka.

Menghadapi kuliah-kuliah berikutnya saya semakin merasa percaya diri. Dari satu kuliah ke kuliah berikutnya kejadiannya selalu seperti itu. Hampir tidak ada pertanyaan - kalau tidak boleh dibilang tidak ada yang bertanya. Ya... memang ada satu dua yang bertanya, tetapi itu hanya menanyakan kalimat saya yang tidak jelas atau tulisan yang kurang terbaca (bukan tulisan saya yang sangat buruk, tetapi kadang dari posisi tertentu tulisan spidol di whiteboard kabur karena kesilauan - he he he he). Hal yang demikian membuat saya merasa bahwa saya memang berbakat jadi dosen (???).

Beruntung, selang beberapa lama saya dihinggapi pertanyaan introspektif: "masa iya saya secanggih itu?" Apa benar mereka tidak bertanya karena sudah paham apa yang saya bicarakan, sudah mengerti, sudah mengetahui? Lalu, esoknya saya berinisiatif untuk menguji pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut itu. Pada penghujung kuliah saya tawarkan lagi kalau ada yang bertanya, ternyata tidak ada yang bertanya. Lalu saya sampaikan ke kelas, "Oke, sekarang kita kuis". Hebohlah kelas. Dan.... hasilnya benar-benar tidak seperti yang saya harapkan. :((

Jadilah waktu-waktu sesudah itu arena perenungan, menguji lagi kesimpulan-kesimpulan yang telah saya buat sebelumnya. Apakah orang bertanya itu karena tidak tahu dan yang tidak bertanya itu sudah tahu? Yah, akhirnya kutemukan simpul masalahnya. Asumsi bahwa orang tidak bertanya karena sudah tahu dan bertanya karena sudah tahu inilah sumber masalah saya. Mengapa orang bertanya? bukan karena tidak tahu. Banyak hal yang kita tidak tahu tetapi kita tidak akan pernah menanyakannya. (Misalnya: siapa istri ketua RW di lingkungan yang kita tidak tinggal di dalamnya.) Itu karena hal tersebut tidak penting bagi kita sehingga tidak mempunyai daya dorong agar kita bertanya. Jadi orang bertanya lebih karena ingin tahu, dan bukan karena tidak tahu. Sebaliknya orang tidak bertanya bukan berarti karena sudah tahu, tetapi lebih karena tidak ingin tahu. Jadi kalau mereka di kelas saya tidak bertanya berarti ......?

Apa lagi setelah saya rasakan beberapa saat, kelas-kelas yang demikian sungguh membosankan. Lagi-lagi saya dihinggapi pertanyaan: "Jangan-jangan merekalah yang bosan melihat gaya dan cara saya di kelas?" Rupanya, inilah tantangan besar yang sebenarnya dari seorang pengajar: bagaimana melakukan perubahan dalam diri kita sehingga membuat kelas-kelas menjadi lebih hidup - itu artinya banyak pertanyaan dan diskusi. Pembelajar yang bertanya adalah mereka yang ingin tahu dan telah mempersiapkan diri untuk mengetahui dan belajar lebih banyak. Diskusi yang terjadi adalah proses konstruksi pengetahuan di dalam dirinya. Akhirnya saya mahfumi, kalau ada mahasiswa yang bertanya dan saya tidak memiliki jawabannya - itu berarti SUKSES BESAR. Ya, sukses besar. Karena itu berarti bahwa saya berhasil membangkitkan kemauannya belajar hingga mencapai batas melebihi apa yang telah saya ketahui. Sebagai guru, itu berarti kesuksesan mengantarkan sang murid menjadi pintar. Saya tidak perlu malu lagi kalau muncul pertanyaan yang saya tidak bisa jawab, dan saya tidak perlu berburuk sangka bahwa mereka yang bertanya sedemikian ini punya maksud ngetes. Mudah-mudahan renungan ini menjadi pelajaran bagi guru-guru lain maupun bagi mereka yang sedang belajar di kampus-kampus.

5 komentar:

  1. Bagus sekali renungannya pak....
    Sebagai calon guru, dan yang minggu depan sudah PPL di sekolah saya jadi punya pandangan tentang mengajar yang sesungguhnya. Sukses terus pak....

    BalasHapus
  2. pak pertanyaan

    gimana cara membuat pertanyaan?

    BalasHapus
  3. jarang ada guru atau pendidik mau merenung apakah ia telah berhasil memberikan hak peserta didik??dan saya salut banget sama bapak...semoga kelak saya juga bisa melakukan perenungan-perenungan seperti yang bapak lakukan.amien..tapi masalah serius memang lebih banyak terdapat pada peserta didik itu sendiri.problem terbesar adalah karena mereka tidak percaya kalau mereka bisa...mereka terlalu menyepelekan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki. sukses terus ya...pak!saya suka cara mengajar bapak di kelas tarbiyah semester 5. bapak telah mendorong saya untuk tercebur ke dalam kolam yang saya tidak tahu apakah saya bisa berenang disitu...dan akhirnya...insyaallah saya pun bisa berenang(nurul amiliya 07110017)

    BalasHapus
  4. Subhanallah...
    Saya juga merasakan hampir sama dengan Bapak ketika PPL..
    Perjuangan guru memang sangat besar..
    Yang perlu kita ingat pahala yang akan kita dapatkan...
    Amal yang tidak akan terputus oleh maut...
    Semangat Para Guru!!!

    BalasHapus
  5. Subhanallah...
    Saya juga merasakan hampir sama dengan Bapak ketika PPL..
    Perjuangan guru memang sangat besar..
    Yang perlu kita ingat pahala yang akan kita dapatkan...
    Amal yang tidak akan terputus oleh maut...
    Semangat Para Guru!!!

    BalasHapus