26 Juli, 2009

Razia

Akhirnya selesai juga pekerjaan yang harus kutuntaskan di Kotamobagu, Sulawesi Utara. Jam 3 dini hari, udara cukup segar tapi tidak sedingin kota Malang pada jam yanng sama, barang-barang bawaan mulai kukemasi. Rencananya jam 6 pagi check-out dan langsung berangkat ke Manado untuk penerbangan jam 12 siang. Memang harus berangkat pagi, karena ada dua alasan. Pertama waktu tempuh normal perjalanan dari Kotamobagu ke Manado adalah 4 sampai 4,5 jam. Jadi bila berangkat jam 6 pagi akan tiba di bandara Sam Ratulangi kurang lebih jam 10.30. Masih cukup waktu untuk melaksanakan alasan yang ke dua, beli tiket.


Ya, kami memang belum memiliki tiket untuk pulang. Padatnya kegiatan yang membuat kami tidak sempat mencari tiket pulang lebih awal. Tapi aku ambil hikmahnya, tidak perlu ada kekhawatiran kehilangan uang tiket kalau-kalau saja sampai terlambat tiba di bandara. Dan..., ternyata aku benar-benar mengambil manfaat dari alasan yang sebenarnya mungkin sekali hanya upaya internal dalam diri ketika mennghadapi masalah. Tulisan ini adalah kisah tentang hal itu.

Kami meninggalkan Kotamobagu menuju Manado menggunakan jasa angkutan travel tepat jam 7, 1 jam lebih lambat dari yang direncanakan. Kepada pak sopir aku sampaikan bahwa aku harus naik pesawat jam 12. Aku percaya pada pak sopir ketika ia menjanjikan akan menurunkan kami sebelum jam 12 di bandara. Pada perjalanan berangkat aku telah memperhatikan angkutan-angkutan seperti ini berjalann sangat laju di lintasan trans-sulawesi. Tidak banyak aku ngobrol dengan pak sopir. Aku benar-benar ingin menikmati kemolekan alam Sulawesi Utara pada perjalanan pulang dari kungjunganku yang pertama ini. Subhanallah, memang luar biasa rahmat Allah di bumi nyiur ini. Aku akan sangat senang sekali kalau dapat pergi lagi ke tempat ini beberapa kali lagi.

Perjalanan sangat lancar. Tetapi terjadi sesuatu yang tidak kuperhitungkan. Di tengah jalan, sopir berhenti di sebuah rumah makan dan mempersilahkan penumpang yang 7 orang termasuk aku untuk istirahat dan sarapan (tentu harus membayar sendiri, karena tidak termasuk dalam ongkos tiket). Wah, bisa mereduksi alokasi waktu untuk cari tiket nih, paling tidak 30 menit. Aku sendiri telah mengganjal perutku dengan roti yang dihidangkan oleh hotel sebelum berangkat tadi. Aku sudah siap untuk tidak sarapan (orang Jawa belum sarapan kalau belum makan nasi - hehehehe...). Apa boleh buat. Sang sopir perlu sarapan agar cukup tenaga menyupir dengan selamat sampai tujuan. Penumpang lain perlu sarapan, karena mungkin mereka belum sarapan dan agar tidak mabuk darat ketika kendaraan melewati Gunung Monte yang jalanannya meliuk-liuk bak ular menari. Dan kupikir..... akupun perlu sarapan. Jadi enjoy aja, nikmati aja. Lebih-lebih menunya sepertinya khas daerah sini. Beberapa waktu di sini aku memang belum merasai keniikmatan kuliner yang khas.

Akhirnya perjalananpun dilanjutkan. Kembali mataku dihidangi pemandangan alam yang menyegarkan. Istirahat dan sarapan tadi ternyata membuatku lebih dapat menikmati hidangan mata ini. Terima kasih ya Allah, telah menambahkan nikmatMu kepadaku. Jam di lengan kiriku menunjukkan pukul 9.47 yang berarti pukul 10.47 waktu Sulut ketika kubaca angka 37 pada tanda jarak di pinggir jalan. Berarti 37 Km lagi menuju Manado, atau 42 Km ke bandara. Tapi kendaraan tidak bisa melaju secepat tadi. Jalan berkelak-kelok tajam dan naik turun yang juga cukup curam. Beberapa saat sebelum memasuki batas wilayah kota Manado terlihat ada polisi di tengah jalan. Rupa-rupanya ada operasi. Aku tenang-tenang saja, karena aku juga sering menemui hal tersebut di Jawa. Paling-paling sopir akan ditanya mana SIM-nya, mana STNK-nya.

Setelah mobil berhenti dan seorang polisi mendekat, ternyata yang ditanya... aku duluan. "Maaf, ada KTP pak?" Aku tersentak. Ternyata yang dirazia penumpangnya. Wah sungguh diluar dugaan. Ketika membaca KTP yang kuserahkan tampak Pak polisi itu mencermati dengan seksama sambil membaca alamat rumahku dengan jelas. Ia menahan KTPku lalu diikuti dengan KTP semua penumpang. KTP para penumpang lain telah dikembalikan semua setelah diperiksa. Tinggal milikku dan milik Mas Shobah, asisten yang mendampingiku dalam kegiatan di Kotamobagu. Wah berabe nih... Mana waktu sudah semakin mepet saja, bisa-bisa betul-betul tertinggal pesawat. Untung aku belum beli tiket (belum punya tiket koq untung ya?!).

Rupanya peristiwa teror bom di Jakarta beberapa waktu lalu telah membuat polisi sibuk kembali. Jadi biarlah kalau memang harus ketinggalan pesawat. Toh ini memang perlu untuk keamanan bersama. Toh aku belum beli tiket, jadi tidak harus kehilangan uang tiket kalau ketinggalan pesawat. Toh kalau tidak dapat pesawat yang langsung ke Surabaya aku masih dapat memilih penerebangan lain, meskipun mungkin harus transit dan lebih lama perjalannya. Jadi aku benar-benar memanfaatkan hikmah belum beli tiket.

Aku mengikuti langkah Pak Polisi bersama Mas Shobah menuju satu sisi jalan dimana terlihat banya orang berbaris antri. Aku dan Mas Shobah berpartisipasi memperpanjang barisan itu. Rupanya banyak juga orang yang harus diperiksa. Ada penduduk lokal yang tidak membawa KTP. Tapi lebih banyak yang pendatang. Dan di antara pendatang tersebut, paling banyak dari Jawa. Dan di antara orang-orang Jawa ini yang paling banyak ternyata dari Lamongan. termasuk Mas Shobah yang mendampingi saya. Wah, wah. Kebanyakan mereka adalah para pekerja pada berbagai proyek pembangunan di Sulut ini. Macam-macam yang ditanyakan oleh polisi, yang lalu dicatatnya pada lembaran kertas HVS seadanya. Aku berusaha mengintip apa saja yang dicatat, tapi susah sekali. Tulisannya kayak resep obat, sulit sekali dibaca. Mungkin petugasnya adalah dokter yang jadi polisi dan bertugas di bagian kesehatan, tapi karena operasi ini memerlukan banyak tenaga jadi petugas kesehatanpun diikutkan.

Karena antriannya banyak, 30 menit lewat barulah tiba giliranku. Untung KTP-ku mencamtumkan profesi yang bagi beberapa (ingat, cuma beberapa) orang terhormat, yaitu dosen. Rupanya polisi itu termasuk yang beberapa orang itu, sehingga pertanyaan yang diajukan tidak berbelit dan tidak terlalu banyak komentar. Begitu pula kepada Mas Shobah ketika kukatakan bahwa ia adalah mahasiswaku. Pak polisi yang mengambil KTP-ku tadi mengantar kami kembali ke mobil sambil menyampaikan permintaan maaf dan terima kasihnya atas "kerjasama"nya. Aneh juga rasanya. Tidak enak sekali nama kita dicatat oleh polisi dalam suatu razia, meski tidak dalam suatu kasus apapun. Aku membayangkan betapa berat beban psikis bagi mereka yang harus mengalaminya karena kasus-kasus kriminal. Ini pengalaman pertama, mudah-mudahan yang terakhir.

Alhamdulillah selesai juga, dan perjalanan dapat dilanjutkan. Tapi waktu yang tersedia tinggal sedikit saja. Betapapun aku masih berharap bisa naik penerbangan yang sudah kurencanakan. Jalanan yang menelusuri pantai Utara Sulut menjelang masuk kota Manado terasa lambat sekali. Karena sepanjang pantai banyak orang bersantai dan rupanya kendaraan-kendaraan berjalan melambat karena di antaranya ada yang berusaha mencari tempat parkir dan bersantai yang nyaman. Memang kulihat banyak orang bermain di laut. Rupanya sopir kendaraan yang kunaiki termasuk pengguna jalan yang sopan dan baik, jadi sedikit sekali usahanya untuk menyalip kendaraan di depannya yang berjalan merambat.

Akhirnya tiba juga aku di bandara Sam Ratulangi. 12 menit menjelang pukul 12 waktu setempat. Aku langsung berupaya mencari loket tiket dari Sriwijaya. Tapi tidak ketemu juga. Wah tegang juga nih. Jangan-jangan Sriwijaya tidak pasang loket di bandara ini. Aku bertanya ke salah seorang yang ada di bandara itu dan ditunjukkannya ke sebuah loket yang memang tidak ada logo atau nama Sriwijawa. Yang ada malah logo dari operator penerbangan lain. Tapi aku berjalan juga menuju loket yang ditunjukkan tersebut. Beruntung karena ternyata loket itu juga melayani tiket Sriwijaya. Tapi yang ada di depat loket hanya dua orang calo. Di dalam loket tidak terlihat ada orang. Sang calo bilang, wah sudah terlambat pak, ini sudah boarding, tapi coba saya usahakan. Ucapan yang biasa dari calo tiket. Tapi aku percaya, karena aku sudah memahami situasinya memang seperti itu. "Boleh saya bawa KTP-nya pak" kata salah seorang calo. Aku serahkan KTP-ku, juga Mas Shobah. Lalu ia berlari masuk.

Sambil menunggu, aku tanyakan ke calo satunya berapa harga tiketnya. Ia menjawab, nanti saja pak kalo memang bisa masuk. Wah, ngeri juga kalo ia nanti pasang harga yang selangit. Tapi apa boleh buat, aku sangat memerlukan tiket itu. Kemudian calo yang membawa KTP memberi isyarat dari balik dinding kaca bahwa kita bisa masuk. Mulai lega hatiku. Kutanya lagi harga tiket pada calo yang menemaniku di luar. Ia mengatakan, "nanti saja pak di dalam". Wah. Aku berdoa semogga tidak dikenai harga yang melangit, sekaligus menyiapkan diri kalau itu benar-benar terjadi. Setelah calo yang berada di dalam mendapatkan boarding pass, kami bisa masuk. Calo yang satu membantu kami membawa barang bawaan kami.

Setengah berlari kami menuju lantai 2 dari mana para penumpang biasanya memasuki pesawat. Calo yang satu lagi masih harus membayar airport tax. Jam sudah menunjukkan pukul 12.04 waktu setempat. Pesawat sudah terlambat beberapa menit dari jadual penerbangannya. Sesampai di lantai 2 setelah kami menerima borading pass kami, tibalah saat pembayaran. Alhamdulillah, doa saya terkabul. Para calo tidak meminta harga yang melangit. Bahkan lebih murah dari harga tiket berangkat saya. Karena gembiranya, saya lebihkan pembayaran tiket tersebut. Begitu saya memasuki garbarata (jembatan penghubung ke badan pesawat) saya masih melihat beberapa penumpang memasuki pesawat. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah, telah engkau mudahkan perjalanan hambaMu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar