25 Juli, 2009

Kota Bentor

Exciting. Itu kesan pertama saya ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Sulawesi Utara. Subhanallah. Sungguh suatu karunia Allah yang luar biasa. Alam yang indah dan permai. Tanah yang subur menumbuhkan berbagai tanaman yang ditanam penduduknya. Sepanjang perjalanan dari Manado ke Kotamobagu terpampang hamparan kebun nyiur. Pantas Sulawesi disebut sebagai Pulau nyiur.



Kebetulan hari ini saya ada kegiatan di kota Kotamobagu. Ini bukan salah mengetik kata kota 2x, memang namanya adalah Kotamobagu yang setelah saya telusur mobagu ternyata berarti baru. Jadi Kotamobagu berarti Kotabaru sebagaimana di Kalimantan atau Kutoanyar di Jawa. Kota yang kaya sumberdaya alam dan terletak di tengah Propinsi Sulawesi Utara ini merupakan kota yang cukup besar untuk wilayah ini. Dulunya ia merupakan pusat kota Bolaang Mongondow sebelum kota tersebut dimekarkan menjadi 5 kabupaten dan 1 kota pada tahun 2007.

Ada yang menarik perhatian saya begitu kendaraan yang saya tumpangi memasuki wilayah Bolaang Mongondow (sering disingkat dengan Bolmong saja). Banyak jenis kendaraan yang tidak lazim ditemui di daerah lain. Itu adalah kendaraan roda 3, tetapi menggunakan mesin motor. Karenanya ia disebut dengan bentor - becak bermontor. Yang menarik dari kendaraan ini adalah modelnya yang eksotik. Disainnya khas, dan kayaknya nyaman ditumpangi (pada saat menulis ini saya belum mencoba naik - :)) ). Motor yang digunakan kelihatannya bukan berasal dari motor bekas (seperti pernah saya lihat di salah satu kota di Jatim) tetapi dari motor baru. Berbagai merek dengan model terbaru terlihat di jalanan dimodifikasi menjadi bentor. Mungkin usaha bentor ini cukup menguntungkan sehingga orang-orang berani menggunakan motor yang masih baru untuk dirombak menjadi angkutan umum ini. Dari beberapa sumber yang saya konfirm perlu duit setidaknya17 juta untuk mendapatkan bentor baru, yaitu 5 juta untuk modifikasi dan selebihnya untuk harga motor baru. Kalau digunakan model motor berharga lebih mahal, berarti harga bentor jatuhnya juga lebih mahal.

Disain bentor sangat menarik. Ia cukup ergonomis - penumpangnya nyaman duduk dan terlindung dari debu, angin, atau hujan. Juga kepada pengemudinya. Bentuk keseluruhannya juga cukup aerodimais, memungkinkannya bergerak cukup lincah. Konstruksinya terlihat cukup kokoh dan memberi kesan rasa aman bagi penumpangnya. Meskipun sebagai sebuah becak, yaitu kendaraan roda tiga dimana penumpangnya duduk di depan pengemudi, arti aman harus diselaraskan dengan kategori dari kendaraan ini.

Dari dalam hotel tempat menginal saya bisa mendengar suara musik yang cukup keras dari jalanan. Mengalir berganti-ganti, tiada henti dari pagi sampai malam. Setelah saya cek keluar, ternyata itu dari bentor yang hilir mudik di jalan. Wow. Mereka memasang audio yang cukup kuat pada bentor-bentor tersebut (meskipun tidak pada semua bentor). Hal itu menumbuhkan suasana yang khas. Khas kota Kotamobagu, kota Bentor.

Jumlah bentor di kota ini sangat banyak. Dari sopir yang menjemput saya, di Kotamobagu sendiri tidak kurang dari 3000 bentor beroperasi di jalan-jalan yang tidak terlalu lebar. Secara pribadi saya sangat mengapresiasi keberadaan bentor di kota ini. Dari sudut geografis dan infrastruktur jalanan, kayaknya modus transportasi ini sesuai benar. Modus angkutan kota seperti di kebanyakan kota di Indonesia sepertinya tidak optimal untuk memenuhi kebutuhan penduduk di sini akan jasa transportasi. Bentor lebih fleksibel dan lebih cepat karena kapasitasnya yang tidak besar - maksimal berpenumpang 3 orang plus 1 pengemudi. Ongkosnya juga tidak terlalu mahal sehingga terjangkau oleh umumnya masyarakat - cukup kompetitif dibandingkan dengan ongkos angkot atau becak di Jawa.

Saya melihat bahwa keberadaan bentor ini telah menggerakkan perekonomian rakyat. Tidak hanya dari sektor transportasi atau sektor ekonomi lain yang terdongkrak karena jasa transportasi. Ia menggerakkan sisi sebelah hulu, industri bentor. Di Kotamobagu, bentor diproduksi oleh bengkel-bengkel kecil yang diusahakan oleh masyarakat kecil. Ia juga menggerakkan jasa layanan pemeliharaan dan perawatan bentor. Saya kira dalam hal ini kota-kota di Indonesia patut meniru Kotamobagu. Berpihak kepada rakyatnya untuk tumbuh perekonomiannya - tidak lebih berat berpihak kepada industri besar yang sudah kaya.

Saya membayangkan orang-orang yang berkompeten dalam produksi bentor di kota ini bekerja sinergis meunmbuhkan kegiatan produksi bentor sebagai sebuah industri yang membesar sehingga mampu menjual unit-unitnya ke berbagai kota lain di Indonesia. Bagi Kotamobagu, hal tersebut akan sangat berarti dalam meningkatkan perekonomian masyarakatnya. Siapa tahu, dari kota yang tidak besar inilah akan tumbuh industri kendaraan bermotor yang benar-benar nasional. Tidak seperti jaman mobnas dulu yang sebenarnya hanya mengganti embleem mobil dengan merek lokal. Mungkin dari sini Indonesia akan dapat meniru dan mengejar India dengan Tata Nano-nya. Mudah-mudahan lamunan ini benar-benar akan jadi kenyatan suatu saat. Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar