05 September, 2009

Bencana gempa itu.

Seorang supervisor pada sebuah proyek pembangunan infrastruktur suatu hari sedang sibuk melaksanakan tugasnya di lapangan. Ia bertanggungjawab untuk mengarahkan dan mengawasi pekerjaan sejumlah pekerja bangunan. Suasana sangat berisik, suara mesin dari berbagai peralatan berat menderu-deru diselingi teriakan pekerja dan mandor yang saling berkoordinasi. Keadaan di lapangan itu seperti kapal pecah saja. Berbagai tumpukan material terlihat di sana-sini. Lubang-lubang galian juga terlihat menganga di sejumlah lokasi. Dalam keadaan seperti itulah sang supervisor harus bergerak ke sana kemari.


Begitu asyiknya sang supervisor bekerja hingga ia tidak sadar bahwa ia mendekati kabel terbuka yang mengalirkan listrik tegangan tinggi yang terhampar di tanah di depannya. Mengetahui bahwa sang supervisor mendekati bahaya, sejumlah pekerja berteriak-teriak memperingatkannya. Sayang sekali, suasana di tempat itu begitu gaduh dan jarak para pekerja yang berterian tersebut cukup jauh dari sang supervisor. Suara-suara memperingatkan dari para pekerja itu tidak mampu menyadarkan sang supervisor karena tertelah kegaduhan ditempat itu. Dengan tenang ia melanjutkan langkahnya dan tanpa disadarinya ia mendekati bahaya yang mengancam jiwanya.

Tinggal dua langkah lagi kaki sang supervisor akan melanggar kabel bertegangan tinggi tersebut. Menyadari teriakannya diabaikan sementara jaraknya cukup jauh untuk menghentikan langkah sang supervisor, seorang pegawai mengambil inisiatif melempar sang supervisor dengan sebuah batu. "Pletak!" Batu yang dilempar agak keras tersebut mengenai kepala sang supervisor menyusup di bawah helm dan sedikit di atas telinga. Entah keberuntungan apa yang menghinggapi sang pelempar sehingga batu tersebut mengenai bagian kepala yang tak terlinding.

Tentu kepala sang supervisor tersebut terluka oleh lemparan itu. Kepalanya terlihat mengeluarkan darah. Tapi hal tersebut justru menyelamatkannya. Mendadak ia menghentikan langkahnya, tepat dua langkah sebelum ia melanggar kabel yang membahayakan dirinya. Segera ia membalik badan menghampiri arah dari mana lemparan tadi berasal. "Siapa yang melemparku dengan batu tadi?" tanyanya kepada sekelompok pekerja dengan agak geram. Tangannya memegang bagian kepalanya yang terluka seakan ingin menghentikan pendarahan yang sebenarnya tidak terlalu bahaya baginya. "Saya pak" jawab seorang pekerja. "Kami sudah berteriak agar Bapak berhenti, tapi rupanya Bapak tidak mendengar. Padahal di depan Bapak ada kabel bertegangan tinggi yang berbahaya. Jadi saya lempar saja pakai batu, karena tidak mungkin lagi mencegah Bapak melanggar kabel itu dengan cara yang lain.", demikian ia menerangkan sambil menunjuk kabel yang dimaksud.

Sang supervisor menengok arah yang ditunjuk sang pekerja, dan ia menyadari betapa dia tadi hampir saja celaka. Andai saja tidak ada lemparan batu yang menghentikannya, sangat mungkin ia telah meregang nyawanya. Menyadari hal tersebut, ia tidak menjadi marah, justru berterimakasih sekali kepada pekerja yang melempar kepalanya hingga luka tersebut.

Demikianlah gambaran tentang bencana alam yang menimpa bangsa kita kemarin ini. Dengan bencana alam gempa di Jawa Barat yang menggiriskan itu seolah Tuhan sedang melempar kita agar kita berhenti melakukan sesuatu atau memulai sesuatu yang lainnya. Yah, bencana gempa itu merupakan peringatan Tuhan kepada kita. Bukankah akhir-akhir ini sepertinya bangsa kita mengalami bencana yang silih berganti saja? Jangan-jangan bencana-bencana itu adalah lemparan batu yang maksudnya untuk menyelamatkan kita sebagai bangsa.

Masih teringat kita akan dahsyatnya bencana tsunami yang melanda Aceh. Bencana itu sesaat membangkitkan rasa saling menyayangi yang amat besar kepada seluruh anggota bangsa ini. Bencana itu telah mampu menggerakkan hati setiap kita untuk mau berkorban dan memberikan apa yang kita punyai untuk saudara kita. Tetapi, mungkin rasa itu hanya sesaat saja. Kita kembali menjadi egois, seba mementingkan diri sendiri. Kalau perlu milik saudara harus kita terkam. Bukankah itu hakikat korupsi? kekacauan di balik ambruknya Bank Century?, keengganan anggota dewan lengser kita memenuhi berbagai kewajiban? (mis: mengembalikan mobil dinas, melunasi hutang, dll).

Bukan hanya itu saja. Mungkin kita telah menjauhi Tuhan. Kita tidak lagi bersemangat menjalankan perintah-perintahnya. Kita tidak berusaha meninggalkan hal-hal yang mubah. Kita juga tidak meninggalkan hal-hal yang makruh, bahkan yang haram. Di bulan Ramadhan ini, begitu semarak fenomena ngabuburit. Jauh lebih semarak dari kegiatan tadarus di masjid-masijd atau di rumah.

Yahh, sangat mungkin lemparan batu itu membuat kita berdarah-darah. Tetapi kita tidak boleh marah, justru harus berterimakasih. Mungkin tanpa bencana itu kita akan terjerumus lebih jauh pada kerusakan yang lebih tak terperikan. Naudzubillahi min dzalik. Semoga tidak terjadi pada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar