09 September, 2009

Puasa pendidikan hati

Sesaat sebelum berangkat ke kantor hari itu masih sempat saya melihat tayangan berita di salah satu stasiun televisi. Kebetulan sekali berita yang ditampilkan sangat merisaukan hati: bentrok fisik yang melibatkan mahasiswa di dua kampus berbeda. Tentu saja hal tersebut menyentuh nurani saya, karena keseharian saya adalah di kampus. Sambil mengemudikan kendaraan ke arah kampus saya mencoba bermuhasabah, bagaimana mungkin kumpulan orang-orang terdidik dapat melakukan tindakan anarkhi - justru di bulan Ramadhan.

Faktanya, anarkhi itu telah terjadi. Karena itu pertanyaannya menjadi mengapa mereka melakukannya? Tentu kita sulit untuk menggali motivasinya, akan tetapi kita dapat menelusur dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai model. Faktor apa yang akan membuat kita dapat bertindak anarkhis? Emosi nan tak terkendali. Kira-kira begitulah kita akan menjawabnya. Sayangnya, justru emosi itulah yang diletakkan (entah sengaja atau tidak) di ranah di luar pendidikan formal.

Di hampir semua institusi pendidikan formal, hampir kita tidak temui kurikulum yang secara intensif dan terpadu untuk meningkatkan kemampuan emosional peserta didik secara terarah. Padahal, telah menjadi kesadaran umum bahwa emtional quotient lebih penting dari sekedar intelectual quotient. Mungkin para perancang kurikulum tersebut berasumsi bahwa dengan meningkatnya kemampuan kognitif seseorang maka dengan sendirinya kemampuan emosionalnya juga menjadi lebih baik. Sayang sekali kenyataannya tidak membuktikan demikian. Berita di tv yang saya ceritakan di awal posting ini secara telak menyanggah asumsi para perancang kurikulum itu. Terlebih, berita itu bukanlah yang pertama, tapi telah yang kesekian kalinya.

Ada ungkapan yang sering digunakan orang: kepala boleh panas, tetapi hati jangan. Maksudnya, jangan sampai emosi mengalahkan nalar. Ungkapan itu muncul karena orang melihat dari pengalamannya bahwa ternyata emosi dan nalar memang dua hal yang terpisah. Banyak orang yang lebih bisa menerima orang dengan kepintaran nalar yang tidak terlalu menonjol tetapi pintar mengendalikan emosinya dari pada orang yang sebaliknya. Itu berarti bahwa, pendidikan yang hanya menekankan kepintaran nalar sebenarnya tidak mampu memenuhi harapan masyarakat akan keluarannya.

Dalam kerangka inilah letak arti penting puasa ramadhan. Puasa adalah tindakan secara sengaja menahan diri dari segala perbuatan yang dilarang agama. Jadi intinya adalah pengendalian diri. Sehingga ketika ada orang yang menarik-narik kita agar kendali emosinya buyar, rasulullah menganjurkan agar menjawab dengan: saya sedang puasa. Namun sayang sekali, seperti disinyalir oleh rasul, banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Mereka itulah antara lain orang yang dalam puasanya tidak dapat mengendalikan emosinya. Mereka itulah orang-orang yang gagal memanfaatkan puasa untuk mendidik hatinya. Semoga kita tidak termasuk orang yang demikian. Na'udzubillah min dzalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar