01 Oktober, 2009

Ujian Nasional Remidi

Orang sudah mahfum bahwa musibah yang menimpa seseorang itu bisa berarti hukuman bisa juga berarti ujian. Ia menjadi hukuman bagi orang-orang yang ingkar dan menjadi ujian bagi orang-orang yang beriman. Demikianlah, tentu kita akan meletakkan musibah yang tengah menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat dalam kelompok ujian. Itu karena kita tidak mau meletakkan diri kita sendiri ke dalam kelompok orang-orang yang ingkar. Naudzubillahi min dzalik. Namun, terbetik juga pertanyaan, mengapa kita harus menerima ujian itu lagi dan lagi?


Ya, mengapa kita harus menghadapi ulang ujian-ujian itu? Sebenarnya hal tersebut tidaklah aneh benar, karena pada dasarnya seluruh hidup kita ini berisi ujian. Bagi seorang siswa, terdapat dua kemungkinan kenapa ia harus menghadapi lagi soal-soal ujian. Kemungkinan pertama adalah bahwa ia merupakan seorang siswa yang cerdas. Banyak sekolah sekarang ini menyediakan kelas-kelas akselerasi, atau kelas-kelas dengan sistem modul. Seorang siswa yang telah menyelesaikan satu modul, setelah belajar dengan cepat ia dapat mengambil ujian berikutnya. Ia tidak perlu menunggu waktu yang reguler untuk menyelesaikan ujian-ujian yang harus dilaluinya. Semakin pintar ia, semakin cepat ia harus menghadapi ujian berikutnya. Setiap kali melewati satu ujian ia merasa lebih bersyukur.

Tapi, ujian juga bisa diberikan lagi kepada siswa yang tidak memenuhi standar ketuntasan minimal. Ujian yang demikian umum disebut sebagai remidi. Siswa harus menempuh remidi karena ia dianggap tidak lulus ujian sebelumnya. Remidi bisa berkali-kali bila si siswa tidak juga berhasil memenuhi standar ketuntasan minimal tersebut. Bila demikian, tentu kita tidak suka menyebutnya sebagai siswa yang pintar. Si siswa sendiri sangat mungkin merasa semakin tertekan bilamana waktu ujiannya tiba.

Jadi, ujian berupa bencana yang bertubi-tubi bagi kita tersebut ujian peningkatan kompetensi atau ujian remidi? Marilah kita lihat perbedaan dari kedua kategori ujian tersebut. Bagi kategori pertama, tingkat kesulitan ujian yang dihadapi tidak akan sama antara satu ujian dengan ujian berikutnya. Kepada seorang siswa kelas 2, tidak akan diberikan "hanya" soal-soal yang dimaksudkan untuk siswa kelas 1. Tingkat kerumitan soal akan meningkat. Sebaliknya dengan soal ujian remidi, "tingkat kesulitannya" sama meskipun soalnya berbeda. Bahkan pada kasus remidi yang berulang-ulang, mungkin guru akan menurunkan tingkat kesulitan tersebut.

Maka, kita bisa melihat ujian bencana yang diberikan kepada bangsa ini: apakah "tingkat kesulitannya" sama atau berbeda dari satu ujian ke ujian berikutnya. Saya pribadi sangat khawatir bahwa sebenarnya tingkat kesulitan soal yang diberikan kepada kita itu sama saja. Artinya, saya sangat khawatir bahwa kita ini adalah murid-murid yang tidak pintar yang masih harus menempuh remidi. Apakah saya mendasarkan kekhawatiran ini pada fakta bahwa bencana yang diberikan kepada kita ini sama dari waktu ke waktu? BUKAN!!! Apalagi berharap bahwa skala dan intensitas bencana yang lebih besar untuk menyesuaikan dengan pandangan bahwa tingkat kesulitan yang lebih besar berarti kita ini naik kelas. SAMA SEKALI BUKAN ITU!

Tingkat kesulitan TIDAK BERARTI intensitas bencana. Jadi, gempa bumi dengan skala richter yang lebih besar BUKAN BERARTI tingkat kesulitan ujian yang lebih tinggi. Bayangkanlah soal berhitung untuk siswa kelas 1 SD. Berapa 2 + 2? Soal ini begitu sederhana. Mudah dipahami apa yang ditanyakan. Tidak memerlukan pemahaman konseptual yang rumit untuk menangkap inti dari pertanyaannya. Bayangkan dengan soal-soal yang diberikan untuk siswa-siswa pada level pendidikan yang lebih tinggi. Diperlukan upaya pemahaman konseptual yang lebih keras hanya untuk menangkap maksud soal yang sebenarnya, meskipun dengan simplifikasi yang intensif esensinya sama saja dengan soal anak-anak SD. Secara sederhana, soal 2+2 = ... itu tingkat kesulitannya sama saja dengan 200 + 200 = ... Dan, a+1 = 3 lebih memerlukan pemahaman konseptual tentang apa yang dipertanyakan (baca: tingkat kesulitannya lebih tinggi) dari pada 2+2 = ... Meskipun besaran angkanya lebih rendah, tetapi tingkat kesulitannya lebih tinggi. Jadi ujian hidup yang lebih tinggi tingkat kesulitannya, bukan berarti harus berupa bencana yang lebih besar.

Lalu, apa dasar kekhawatiran saya? Karena ujian yang diberikan berupa bencana, maka mungkin kita ini masih siswa tingkat rendah. Mengapa? Karena soalnya begitu mudah dipahami apa yang dipertanyakan. Marilah kita lihat soal "ujian nasional" kita kali ini. Ya, ini adalah ujian nasional karena meskipun kasusnya terjadi di Sumbar tetapi sebenarnya soalnya harus diselesaikan oleh semua anggota bangsa ini. Kasus soalnya hanya satu, yaitu bencana gempa bumi. Tetapi maksud soalnya bermacam-macam tergantung siapa dan dimana kita. Bagi mereka yang terkena langsung bencana tersebut maka ujiannya adalah soal kesabaran. Jelas bagi kita bahwa adanya bencana menuntut kesabaran pada yang mengalaminya. Akan tetapi mudahkah kita memahami bahwa tanpa bencanapun kita ini dituntut kesabaran? Begitu tidak sabarannya kita selama ini pada masa-masa tidak ada bencana. Begitu mudahnya kita ini marah kepada saudara kita sendiri. Begitu tergesa-gesanya kita sampai-sampai melanggar berbagai rambu agama. Tergesa mau kaya, maka korupsi. Tidak sabar menunggu waktu ketemu tempat sampah, maka sampah kita buang di sembarang tempat. Tidak sabar menunggu terkumpulnya keuntungan dalam berdagang, maka kita tidak jujur dalam berjualan. Dan masih banyak lagi contoh lain. Pada waktu itu kita tidak pintar membaca soal ujian hidup kita: "kamu harus bersabar". Maka Sang Maha Guru "menurunkan" tingkat kesulitan soal agar lebih mudah dipahami bahwa dalam hidup dituntut kesabaran, dan terjadilah apa yang dikehendakiNya.

Bagi kita yang tidak terkena langsung, bencana itu adalah ujian ketaqwaan. Sesama muslim adalah saudara, persaudaraan seiman. Begitulah kita ini diperintahkan, yaitu memperlakukan mereka yang seiman sebagai saudara. Menerapkan hal ini dalam kehidupan merupakan wujud dari ketaqwaan. Sebaliknya, berarti kita mengacuhkan perintah - yang juga bermakna kita kurang bertaqwa. Jelas bahwa bencana menuntut rasa persaudaraan di antara keluarga satu bangsa. Dituntut bagi kita untuk menolong saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana. Ini adalah soal ujian dengan tingkat kesulitan yang mudah dipahami. Akan tetapi, tanpa bencana itu kita seakan sulit memahami bahwa kita ini bersaudara. Saling fitnah, menumbuhkan kebencian satu dengan yang lain, saling merendahkan antar kelompok, merasa yang paling benar, dan tidak rajin saling tolong dalam kebaikan. Agaknya tanpa bencana itu kita tidak mampu memahami soal ujian ketaqwaan dari perintah untuk bersaudara. Barangkali itulah sebabnya Allah menurunkan bencana, agar kita bisa memahami soal ujianNya. Karena bencana itu adalah soal ujian yang lebih mudah.

Bagi kita sebagai sebuah bangsa, agaknya bencana ini adalah soal tentang bagaimana hidup berjamaah. Dengan bencana mudah bagi kita memahami bagaimana sebagai sebuah bangsa pemimpin harus memperhatikan rakyatnya, pemimpin harus memberi teladan kepada yang dipimpin. Di masa tanpa bencana mungkin kita ini tidak memahami soal yang diberikan sehingga pemimpin tidak memperhatikan dan memberi teladan yang dipimpinnya. Mudah-mudahan kita kali ini lulus ujian remidi ini dan dapat belajar bagaimana harus membaca soal pada waktu berikutnya.

2 komentar:

  1. aslm pak..Smoga kita snantiasa dalam RahmatNya..Amiin
    saya dapat sms dari teman tentang jam2 terjadinya gempa subhanalloh..jika kita cek nomor surat dan ayat sesuai kejadian gempa: gmpa di Tasik 15:04, di padang 17:16,susulan 17:58, di Jambi 08:52...Subhanalloh..ayat2 tentang kehancuran kaum...sungguh mengerikan..
    Dan tadi pagi saya dpt kabar kalo malamnya terjadi Gempa susulan lagi pukul 07:51..Masya Alloh...mengindikasikan tentang kelalaian manusia terhadap ayat2 Alloh...
    Wallohu a'lam bishawab..

    BalasHapus
  2. pak apakah isu tentang ujian UNAS 2010 ada remidi itu benar apa nggak?trus bagaimana proses remidi tersebut?

    BalasHapus