31 Agustus, 2009

Gelas nan tak retak

Bulan ramadhan disebutkan oleh banyak ulama sebagai bulan pendidikan. Artinya dalam bulan tersebut kita belajar sesuatu, biasanya kita sebut dengan ilmu. Karena tujuan orang berpuasa itu adalah menjadi orang bertaqwa, maka ilmu yang kita pelajari tentu saja ilmu tentang jalan atau cara menuju ketaqwaan. Karena ketaqwaan itu bukanlah sesuatu yang kuantitatif dan tidak ada batasan kriterianya, maka setiap tahun - siapapun dia - harus mengalami perubahan karena puasanya. Di penghujung Ramadhan tingkat ketaqwaannya harus lebih baik dari sebelumnya.

Masalahnya, boleh jadi banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapat haus dan dahaga saja. Itu berarti orang-orang tersebut gagal menggapai tujuan Ramadhan. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah orang-orang tersebut gagal menampung ilmu yang diajarkan dalam puasa Ramadhan. Terkait dengan hal ini, orang belajar menuntut ilmu bisa diandaikan seperti gelas yang diisi air. Keadaan gelas itu akan menentukan apakah ia akan terisi penuh atau tidak.

Gelas pecah.
Mengisi air hingga penuh ke dalam gelas pecah/bocor tentu menjadi pekerjaan yang tidak masuk akal (kecuali gelasnya ditambal dulu :P ). Apa lagi jika gelas tersebut bocor atau pecahnya pada bagian bawah, bahkan air tidak mau tinggal dalam gelas tersebut. Gelas pecah ini ibarat orang yang menuntut ilmu tidak dengan sungguh-sungguh. Gak niat, kata orang Jawa. Keadaan tidak sungguh-sungguh ini berkawan karib dengan kemalasan. Tergantung tingkat kesungguhan orang tersebut, semakin malas ia maka ibarat gelas semakin dekat lubang bocor dengan dasar gelas - alias semakin sedikit ilmu yang bisa dihimpunnya.

Ini adalah gambaran orang yang berpuasa tetapi tidak sungguh-sungguh menjalani dan menyerap pelajaran di dalamnya. Ketika ada kultum, ia sibuk bercakap dengan jamaah di sebelahnya, atau ber sms, atau fesbukan, atau sekedar melamun berhitung kecukupan tabungan plus te ha er untuk mudik. Begitu pula ketika hati kecil berbisik "eh mendingan kamu tadarus saat menunggu berbuka puasa dari pada ngabuburit", maka pesan nurani ini diabaikannya saja. Juga ketika secara halus hati berbisik untuk memperbanyak sodakoh, kepala berkata "eh nanti dulu, buat mudik belum cukup nee". Yahh itulah sedikit contoh yang membuat kita mirip dengan gelas pecah. Jadi ilmu yang tersaji selama Ramadhan ini luber kemana-mana, tidak ada yang tinggal dalam hati. Akhirnya, sebelum dan sesudah Ramadhan kita sama saja. Tidak menjadi lebih baik.

Gelas terbalik
Ini keadaan yang lebih parah dari gelas pecah. Bahkan gelas tanpa cacat kalau dipasang terbalik tidak akan dapat menampung air setetespun. Ini adalah ibarat orang-orang yang sombong, yaitu mereka yang merasa dirinya sudah baik dan lebih baik dari orang lain. Mereka ini menolak mentah-mentah nasehat-nasehat dari orang lain karena merasa mereka itu tidak lebih baik dari dirinya. Bagi mereka berlaku, siapa yang bicara - bukan apa yang diucapkan. Dan sang "siapa" yang paling pintar dan paling benar adalah dirinya sendiri. Mereka ini yang dicap di dalam Al Qur'an: golongan yang sama saja engkau beri nasehat atau tidak.


Ironisnya, sebagian dari golongan gelas terbalik adalah mereka yang merasa telah berilmu. Karenanya mereka pikir tidak perlu lagi menerima nasihat orang lain. Dalam kelompok ini juga termasuk orang-orang yang mengangkat dirinya sendiri (dengan persangkaannya sendiri) bahwa mereka lebih baik dari orang lain karena status sosialnya, atau hartanya. Secara umum orang-orang yang sombong adalah orang yang tidak mau menerima kebenaran di dalam hatinya. Jadi jangan harap dengan bekal kesombongan kita akan sukses meraih tujuan puasa Ramadhan.

Gelas utuh dan terbuka
Inilah kedaan yang ideal. Pada saat puasa Ramadhan (atau dalam kondisi apapun - termasuk di luar Ramadhan), kita menuntut ilmu dengan kesungguhan dan kerendahan hati. Belajar sungguh-sungguh ibarat gelas yang utuh, dan kerendahan hati ibarat gelas yang duduk dengan mulutnya di atas - siap menampung air yang dicurahkan. Dua hal ini sekaligus juga menjadi indikator apakah kita sukses berpuasa atau tidak. Bila setelah Ramadhan ini kita menjadi orang yang semakin bersungguh-sungguh menjalankan semua ibadah dan lebih rendah hati dalam bergaul dengan sesama, maka itu menggambarkan pada saat puasa kita telah terlatih menggunakan keduanya untuk menimba ilmu puasa ramadhan. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersungguh-sungguh dan rendah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar