Alhamdulillah, setelah dalam waktu yang lama saya tidak dapat mengakses blog ini karena lupa passwordnya, sejak kemarin saya bisa masuk lagi. Saya beruntung, karena ternyata passwordnya sama dengan yang saya gunakan pada salah satu sistem yang lain. Karena tidak dapat masuk lagi, sampai-sampai saya terpaksa membuat blog di tempat tetangga sebelah (teanology.wordpress.com), juga "terpaksa" aktif di facebook (????).
Selengkapnya....28 Juli, 2015
02 April, 2012
Helm Organik
Agaknya semangat "back to nature" betul-betul menginspirasi boncenger yang satu ini. Sampai-sampai helm-pun ia pilih yang "organik". Betul-betul organik karena helm tersebut ternyata menyukai kacang dan pisang. Tidak hanya "ramah lingkungan", helm tersebut juga stylish dengan ekor yang panjang. Efektifitas keamanannya? entahlah.
13 Desember, 2010
Memulai Kembali Kebiasaan Yang Terputus
Istiqomah. Kata yang mudah diucap tetapi ternyata tidak mudah melakukan. Tentu karena Tuhan tahu bahwa hal ini bisa menjadi hal berat bagi manusia, maka Dia lebih menyukai perbuatan baik yang dilakukan dengan istiqomah - MESKIPUN ITU HANYALAH HAL YANG KECIL SAJA.
Faktanya, blog ini memperlihatkan betapa saya juga kesulitan menjaga istiqomah tersebut. Memang, selama kosong menulis di blog ini saya tidak berhenti menulis sama sekali - tetapi saya meletakkannya di berbagai tempat yang lain. Namun tetap saja itu berarti saya tidak berhasil baik menjaga ke-istiqomah-an menuang pikiran di blog ini. Saya bersyukur, bahwa akhirnya saya menulis lagi. Sebuah tulisan tentang penilaian saya sendiri terhadap keterputusan melakukan hal-hal positif (yaitu menulis dan berbagi tentang pikiran-pikiranku terhadap kehidupanku).
Bagaimana rasanya tidak istiqomah? Mungkin tidak banyak yang mempertanyakan ini kepada sang pelaku. Pengalaman tidak istiqomah ternyata memperlihatkan kepada diri sendiri tentang ketidak-setiaan. Ya, sikap istiqomah pada dasarnya memang bermakna kesetiaan pada komitmen. Jika telah berkomitmen untuk memulai melakukan suatu hal yang baik, maka seyogyanya kita setia terhadap komitmen tersebut. Memutus komitmen tersebut ibarat orang yang selingkuh, orang yang tidak setia terhadap komitmennya sendiri. Barangkali itulah salah satu pelajaran yang hendak Allah sampaikan kepada manusia dengan menegaskan sikap-Nya yang lebih mencintai perbuatan baik yang dilakukan dengan istiqomah, meski hanya hal-hal yang kecil. Hanya Dia yang Maha Tahu.
23 Januari, 2010
Dunia Bidang Datar
Kebanyakan kita sepakat bahwa kita ini hidup di dunia 3 dimensi. Yaitu dunia ruang yang secara geometrik memiliki 3 sumbu: panjang, lebar, dan tinggi. Pernahkah kita membayangkan dunia dengan dimensi yang tidak 3? Mari kita coba "merekonstruksi" secara imajinatif suatu dunia yang tidak 3 dimensi, tetapi dua dimensi.
Dunia dua dimensi atau dunia bidang datar hanya memiliki dua sumbu saja, yiatu panjang dan lebar saja. Tidak ada tinggi. Dalam dunia yang seperti itu, kita misalkan terdapat obyek-obyek yang secara fungsional selaras dengan dunia 3 dimensi kita. Maksudnya: dalam dunia tersebut ada makhluk hidupnya yang bermasyarakat, ada tanaman, ada rumah, dan seterusnya.
Wujud dan Persepsi
Sebagaimana dunianya yang berupa bidang datar, maka segala sesuatu yang ada "di dalamnya" juga mengikuti sifat fisik tempat keberadaannya tersebut. Artinya, yang bisa eksis dalam dunia bidang datar hanyalah obyek-obyek yang tidak memiliki tinggi, mungkin sebuah poligon, garis, atau titik. Maka kita dapat mengkonstruksi makhluk imajiner di dunia bidang datar misalnya berupa poligon-poligon. Strata sosial terbentuk dengan pengelompokan makhluk-makhluk tersebut berdasarkan jumlah sudut yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, makhluk segi tiga berada pada strata sosial paling bawah, dan lingkaran berada pada strata paling atas.
Katakanlah setiap makhluk hidup di dunia bidang datar tersebut juga dilengkapi dengan indera untuk mengenali lingkungannya. Meskipun terdapat banyak ragam wujud makhluk dua dimensi tersebut, namun persepsi mereka terhadap satu dengan lainnya relatif sama. Bagi seorang poligon yang tinggal di dunia bidang datar, obyek sekeliling yang bisa dilihatnya semuanya berbentuk garis. Dalam persepsi seorang lingkaran, seorang segitiga terlihat sebagai sebuah garis. Demikian pula sebaliknya.
Tentu saja seseorang dapat mendekati orang lainnya lalu merabanya. Maka ia akan dapat meraba sudut-sudut yang dimiliki oleh orang yang dirabanya. Walaupun demikian penglihatannya tetap memberi persepsi bahwa yang dilihatnya hanyalah sebuah garis. Diperlukan kemampuan abstraksi matematis tingkkat tinggi bagi mereka untuk merekonstruksi "wujud yang sesungguhnya" dari obyek yang dirabanya tadi. (Itulah sebabnya lingkaran berada pada strata yang lebih tinggi karena wujudnya yang bersudut tak terbatas membuatnya lebih peka merasakan sudut yang dimiliki orang lain. He he he he).
Perbandingan interdimensi
Apa makna membagun dunia imajiner dua dimensi tersebut bagi kita? Ilustrasi sebelumnya mendeskripsikan betapa sulitnya seorang poligon mengenali wujud temannya yang berbentuk segi tiga dan sebaliknya. Pada gambar ilustrasi berikut, di mata A: B hanyalah terlihat sebagai sebuah garis, dan A akan sangat kesulitan melihat C karena terhalang oleh B.
Penglihatan mereka begitu terbatasnya. Jangankan hendak melihat obyek di balik obyek, bahkan melihat obyek yang sebenarnya mereka benar-benar tidak akan mampu. Paling-paling mereka hanya akan mampu membangun visual imajiner. Tapi cobalah pandang bentuk-bentuk pada gambar di atas. Begitu mudah bagi kita (makhluk 3 dimensi) untuk mengetahui wujud dari obyek bidang datar tersebut. Kita bisa mengidentifikasi bahwa A adalah sebuah segi empat, B adalah lingkaran dan C adalah segi lima. Kita bisa melihat keadaan mereka sekaligus, karena di antara mereka tidaklah saling menghalangi di mata kita. Bahkan kita bisa mengetahui apa yang ada di dalam poligon-poligon tersebut, sesuatu yang mustahil bagi mereka yang berada dalam dunia dimensi yang sama dengan mereka.
Bahkan lagi, seandainya ukuran obyek-obyek dua dimensi itu jauh melebihi ukuran tubuh kita, masih mudah bagi kita untuk membangun persepsi visual sebagaimana jika ukuran mereka kecil. Sebaliknya, mereka tidak akan pernah mampu melihat kita: seberapapun dekatnya kita dengan mereka. Seandainya kita menempelkan jari kita ke obyek dua dimensi, dan (sekali lagi, seandainya) mereka adalah makhluk hidup dua dimensi yang memiliki indra persepsi visual tetap saja mereka tidak akan mampu melihatnya. Paling banter mereka hanya bisa melihat tanda-tanda keberadaan kita dari bayangan yang terefleksi ke dunia bidang datar mereka.
Begitulah hubungan perspektif antar dimensi. Marilah sekarang kita melakukan ekstrapolasi perbandingan antar dimensi tersebut pada dunia tiga dimensi kita dengan dimensi yang lebih tinggi. Dimensi yang lebih tinggi dari 3? Lelucon apakah itu? Sama sekali bukan sebuah joke. Einstein telah memulai dengan meyatakan bahwa dunia ini 4 dimensi dengan menegaskan bahwa ada 3 sumbu ruang dan 1 sumbu waktu. Bagi Einstein keberadaan waktu hanyalah konsekuensi logis dari keberadaan ruang. Lalu Kaluza dan Klein (1921) mengembangkan lebih lanjut bahwa dunia ini adalah suatu konstruksi 5 dimensi, ia menambahkan satu sumbu ruang pada model 4 dimensi Einstein.
Kini para fisikawan bahkan memiliki spekulasi yang lebih fantastis, dunia berdimensi 11. Mereka mengklain bahwa dengan dimensi 11 semua teori fisika dapat dipadukan menghasilkan teori segalanya. Dan salah satu tokoh penting dibalik hipotesis tersebut adalah Randall. Bagi mereka, keberadaan blackhole merupakan pendukung penting teori extra dimensions (lihat Quantum Black Hole, Unseen Dimension oleh Mu, D., 2006).
Implikasi buat kita.
Banyak hal penting dari perkembangan pengetahuan tentang fisika ini bagi kita. Jika dunia kita ini adalah dunia 4 dimensi (yaitu ruang 3 sumbu dan waktu, karena hanya itulah yang mampu kita persepsi), maka masih terdapat 7 sumbu dimensi di atasnya. Tidak mungkinkah langit yang dimaksud dalam al Quran itu sebenarnya adalah extra dimensions? Ingatkah kita bahwa Nabi Muhammad saw. diperjalankan dalam Mi'roj ke langit ke 7. Hanya Allah yang Maha Tahu.
Yang jelas, banyak hal di al Qur'an yang bisa dijelaskan dengan baik dengan menerapkan pengertian bahwa langit yang dimaksud adalah extra dimension. Salah satunya sifat Maha Melihat. Ilustrasi di atas menjelaskan bagaimana yang berada di dimensi lebih tinggi bisa melihat segala sesuatu di dimensi lebih rendah yang tidak akan dapat dilakukan oleh mereka yang tinggal di dimensi rendah tersebut. Bahkan seandainya jaraknya begitu dekat, seperti Sesuatu yang lebih dekat dengan urat nadi leher kita. Sungguh hanya Dia yang Maha Tahu.
(Masih banyak hal di alQur'an yang bisa dijelaskan dengan pendekatan ini. Semoga Allah memberi kekuatan dan pengetahuan agar saya bisa menulisnya. Amien.)
19 Januari, 2010
Idolaku Mak Lampir!
Hihihihihi..... tawa yang mengerikan jika terdengar di tengah malam nan senyap. Itu tawa ciri khas Mak Lampir, tokoh antagonis dalam serial yang terkenal di TV beberapa waktu yang lalu. Rasanya tokoh inilah yang membikin serial tersebut terkenal, karena sebagian orang bahkan sudah lupa siapa tokoh protagonisnya. Peran Mak Lampir begitu mengesankan banyak orang sehingga melekat erat dalam ingatan. Begitu juga dengan saya, setelah saya coba mengingat kembali tokoh-tokoh dalam serial itu rasanya agak kesulitan. Tapi bukan karena kesan peran yang kuat itu saya mengidolakannya.
Mak Lampir jadi idola? Whuihhh, apa saya telah kehilangan tokoh patron yang lebih baik karena jaman sekarang banyak pemimpin negeri ini yang tidak bisa dijadikan panutan. Begitulah beberapa teman mencibir saya ketika saya sampaikan bahwa salah satu idola saya adalah Mak Lampir. Aneh-aneh saja... apa anda mengikuti nasehat Ronggowarsito sepenggal saja: "... yen ora edan ora keduman...". Begitu kata yang lain, menyangka saya berubah haluan sehingga harus mencari patron yang "gila" agar saya bisa "meniru kegilaannya sehingga mendapat bagian dunia ini". Naudzubillahi min dzalika.
Tapi memang benar bahwa saya menjadikan Mak Lampir sebagai salah satu sumber inspirasi saya. (So what, gitu loh). Saya begitu menghayati bahwa tidak ada sesuatupun yang diciptakan Allah di alam ini dalam kesia-siaan. Bukankah sejahat-jahat makhluk ia tetap ciptaan Allah? Jadi, pasti tidaklah ia diciptakan dalam kesia-siaan. Lalu, apakah kemanfaatan dari kedzaliman mereka itu? Jawabannya, tidakkah kita bisa belajar dari mereka bagaimana kerusakan dapat terjadi karena nafsu angkara murka mereka? Tidak bisa jugakah kita belajar dari akibat perbuatan mereka itu untuk lebih mampu mengendalikan diri? Bahkan, tidak bisakah kita belajar hal-hal "baik" dari mereka?
Tapi..., ada nggak sih yang bisa kita pelajari dari seorang tokoh seperti Mak Lampir itu? Janganlah kita menutup mata kita dengan kacamata kuda yang hanya menilai sesuatu dari sudut pandang yang sempit. Lihatlah bagaimana "istiqomahnya" Mak Lampir. (Mak Lampir istiqomah??? hiks.) Cermati jalan cerita Mak Lampir: ia begitu setia dengan tujuannya, melampiaskan nafsu untuk menguasai semuanya. Ia tidak pernah putus asa menghadapi segala rintangan yang menghadang tujuannya itu. Bukankah ia istiqomah? Perkara bahwa tujuannya itu duaratus persen salah, itu adalah halaman lain. Coba simak ini: Kalau berbuat jahat saja banyak hambatannya, kenapa berbuat baik kita tidak istiqomah? kenapa kita begitu mudah putus asa menjalankan ibadah? sedikit halangan saja sudah memberikan cukup alasan bagi kita untuk menunda atau membatalkan niat ibadah. Kenapa kita harus malu belajar dari Mak Lampir untuk beristiqomah padahal niat dan cara yang kita tempuh haqqul yakin adalah hal yang baik?
Belajarlah dari sikap tawakalnya Mak Lampir. (Glodak... ada yang jatuh mendengar Mak Lampir bertawakal. he he he he). Lihatlah bagaimana yang dilakukannya untuk mencapai tujuannya. Ia mengkonsolidasikan sumberdaya (sekutu-sekutunya), bikin planning, action (menyerbu musuh-musuhnya), kalah lalu melarikan diri (evaluasi yang cermat, he he he he). Setelah kalah, ia cari sumberdaya baru lagi, susun strategi baru, bertindak lagi, hampir menang tapi kalah lagi, lari lagi. Begitulah jalan ceritanya terus menerus. Coba ingat-ingat apakah pernah Mak Lampir menangis menghadapi kekalahannya? Justru ia tertawa, hi hi hi hi. Ia tidak meratapi dengan jeritan tangis nan pilu setiap kekalahannya. Ia tertawa dan kemarahannya membuat semangat tempurnya semakin membara. Tidak bisakah kita belajar dari Mak Lampir untuk tidak meratap dan melolong kesedihan setiap kita dihadapkan pada kegagalan. Tidakkah juga kita bisa belajar dengan kegagalan itu untuk membakar lebih banyak minyak semangat dalam diri kita sehingga justru kita akan mampu berbuat yang lebih besar? Tidak bisakah kita tawakal untuk pantang mundur dan tidak bersedih hati menyesali upaya kita yang belum berhasil? Jika ada jawaban tidak, maka belajarlah dari Mak Lampir. Ia bisa menjadi idola yang baik untuk sikap pantang menyerah, tidak putus asa, dan menerima kenyataan dengan keriangan yang sama apakah itu keberhasilan atau kegagalan.
12 November, 2009
Kota Bentor
Motor baru juga jadi bentor, dang!
Ini juga motor baru...
Muat banyak.
Kota bentor, jalanan full-music. Hampir semua bentor dipasang audio dan muter musik sepanjang jalan. Ngga ada istilah jalanan sepi, kecuali saat adzan.
Selengkapnya....23 Oktober, 2009
Sangkal Putung? Yes!
Beberapa hari yang lalu Allah memberikan bahan pelajaran yang sangat berharga bagiku. Karena hal yang sangat sepele, saya jatuh kemudian kaki terkilir. Rupanya ada persendian yang sedikit bergeser yang menimbulkan rasa sakit yang sangat. Mula-mula aku tidak menyadari hal tersebut. Kusangka keseleo otot biasa dan dengan sedikit gosokan minyak tawon plus urutan pelan akan segera sembuh. Tapi, ternyata tidak. Bahkan sakitnya makin menjadi. Akhirnya aku menyadari ada tonjolan yang tidak wajar sebagaimana kalau kaki bengkak karena keseleo.
Khawatir ada tulang yang retak, akhirnya akupun pergi ke suatu laboratorium klinis untuk foto rontgen. Alhamdulillah, hasilnya tidak ada yang retak. Maka aku mengambil keputusan untuk menggunakan jasa sangkal putung. Sangkal putung adalah salah satu metode tradisional yang cukup masyhur di Jawa untuk membetulkan dan merawat orang yang mengalami patah tulang atau sendi lepas. Datanglah sang tukang sangkal putung yang memang sudah kukenal orangnya ke rumah. Setelah memeriksa sesaat kakiku yang sudah bengkak, ia memberikan beberapa penjelasan tentang kondisi kakiku.
Karena penggunaan istilah yang berbeda dengan bahasa yang saya pahami, saya harus menanyakan secara mendetail apa yang ia maksudkan. Maklumlah, ini pertama kalinya saya melihat seorang sangkal putung menjalankan aksinya. Dan, itu langsung terhadap diriku sendiri. Ternyata apa yang ia maksudkan itu sama dengan gambaran yang kuperoleh dari hasil rontgen. Akhirnya aku menyiapkan diri untuk mulai menjalani terapi. Aku sudah membayangkan itu akan sakit sekali. Ternyata, memang sakit sekali. Tapi aku sudah menyerahkan seluruh kepercayaanku padanya, karena aku sudah meniatkan usahaku menyembuhkan diri ini sebagai ibadah. Subhanallah! tidak beberapa lama rasa sakit itu mulai berkurang. Terutama setelah sang sangkal putung melakukan beberapa pijatan di bagian kakiku sebelah kiri yang tidak mengalami masalah.
Perkara pijatan di sisi kaki yang tidak sakit sebenarnya membuat aku agak bertanya-tanya. Itu adalah sesuatu yang awalnya tidak aku pahami kemungkinan hubungannya. Setelah aku renungkan, aku sedikit memahami kemungkinannya. Sangat mungkin bagian yang ia pijat itu berhubungan dengan syaraf ke otak yang mengatur rasa sakit. Saya tidak tahu bagaimana meknisme kerjanya sehingga rangsangan berupa pijatan (yang terasa cukup sakit itu) di kaki kiri yang tidak apa-apa dapat mengurangi rasa sakit pada kaki kanan yang bermasalah. Tapi kesadaran baru muncul bahwa ternyata pusat rasa sakit itu bukan pada organ yang bermasalah, tapi di otaklah tempatnya. Ini mengoreksi pendapatku pada paragraf sebelumnya bahwa pusat rasa sakit itu terletak pada organ yang bermasalah. Sayang sekali tidak sempat kutanyakan ini pada sang sangkal putung karena hal ini baru terpikir setelah orangnya pulang.
Mungkin karena kecapekan menahan rasa sakit seharian dan rasa sakitnya itu sendiri sudah berkurang saya dengan cepat tidur. Menjelang subuh, saya terbangun dan ingin buang air. Saya coba untuk berjalan menuju kamar kecil. Subhanallah! saya bisa tertatih berjalan ke toilet. Padahal kemarinnya, untuk dudukpun harus meringis menahan sakit karena kaki yang bermasalah tidak bisa diajak ke posisi tegak. Dan sekarang, 2 hari setelah diterapi sangkal putung, keadaan kakiku semakin baik. Hari ini saya sudah pergi ke kantor, meski sebentar. Saya juga sudah bisa ikut sholat Jumat di masjid, meski harus bawa kursi plastik karena belum bisa duduk di bawah dan tahiyat. Alhamdulillah...
Tahukah anda sang sangkal putung tersebut? Ahhhh... ia belajar pengetahuan dan ketrampilan dari ayahnya. Ayahnya belajar dari ayahnya - kakek sang sangkal putung tersebut. Begitu katanya seterusnya. Jadi itu adalah ilmu turun temurun. Ia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Bahkan ia menghindar ketika kutanya SMPnya dimana? (Kutanyakan ini karena jangan-jangan ia dulu satu sekolah dengan saya, bukan karena maksud yang lain). Jangankan belajar teori yang mendalam, bahkan ilmu sangkal putung itu ia pelajari hanya dengan melihat yang dilakukan ayahnya. "Kalau mau belajar, lihat saja le.." begitu ia mengutip nasihat ayahnya saat ia masih kecil sekali. Tapi, ilmu turun-temurunnya itu ternyata, dengan seijin Allah, efektif menyelesaikan masalah tulang kaki saya. Ahhhh... ternyata pengetahuan tradisional kita tidak kalah dengan ilmu orthopedic modern. Terutama dalam hal efektifitas dan biayanya. Saya bisa bayangkan bahwa biaya yang saya keluarkan akan jauh lebih besar kalau saya pergi ke dokter ahli tulang.
Sangkal putung? Yesss...! Ya Allah, terimalah amal saudaraku sang sangkal putung tersebut sebagai ibadah yang Engkau banggakan. Mudahkanlah jalan baginya untuk dapat menolong orang-orang lain yang Engkau uji tulang-tulang tubuh dan ototnya dengan masalah dan rasa sakit. Banyakkanlah rejekiMu kepadanya agar ia dapat menghidupi keluarganya dengan baik dan dapat menolong orang dengan ikhlas. Peliharalah hatinya agar ia hanya berniat menolong orang lain karena hendak mencari ridloMu. Amin.
09 Oktober, 2009
Akal Sehat v.s. Kesombongan
"Bahkan bila ada nasehat yang masuk, dengan mencibir kita mempertanyakan - emangnya siapa loe? golongan apa loe? umur berapa loe? - Itulah pukulan-pukulan hook dan jab sang nafsu dan kesombongan. Tidak penting bahwa pukulan itu tidak indah atau bahkan menabrak aturan main, yang penting sang akal sehat bisa terkapar KO.
Setiap hari terpampang ke hadapan kita banyak pelajaran. Semua hal yang bisa kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan adalah bahan-bahan pelajaran hidup kita. Akan tetapi ternyata sering sekali kita melakukan suatu kesalahan padahal sesungguhnya sebelumnya telah dipaparkan pelajaran tentang hal itu kepada kita. Posting saya beberapa waktu lalu mengurai penyebab mengapa kita tidak dapat menerima ilmu baru. Membaca kembali posting itu saya teringat satu kisah besar yang dialami salah seorang yang paling dicintai Allah di bumi ini: Nabi Ibrahim a.s.
Alkisah, setelah kurang sukses mengajak kaumnya (trmasuk Tarikh atau Azar ayahnya sendiri) untuk beriman kepada Allah secara persuasif akhirnya Ibrahim a.s. memilih pendekatan yang agak berbeda. Ia menghancurkan berhala sesembahan kaum pagan saat itu dan menyisakan satu yang terbesar dan mengalungkan alat penghancurnya kepada berhala yang tersisa tersebut. Tentu saja orang-orang menjadi heboh sehingga akhirnya ditangkaplah Ibrahim a.s. untuk dihadapkan kepada Namrudz - sang raja nan kejam. Lalu diinterogasilah Ibrahim a.s. oleh
Namrudz. Kira-kira dalam gaya saat ini, sebagai berikut:
Namrudz: "Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?"
Ibrahim a.s.: "Mengapa engkau tidak tanyakan pada sesembahanmu yang masih utuh itu? Bukankah ia yang membawa kapaknya? Bukankan ia di sini terus menerus? Pastilah ia menyaksikan siapa yang menghancurkan patung-patung yang lain."
Namrudz: "Hai Ibrahim, tololkah engkau? Bagaimana mungkin patung itu bisa menjawab pertanyaanku!"
Ibrahim a.s.: "Hai Namrudz, kalau engkau tahu tuhanmu itu bahkan tidak mampu menjawab pertanyaanmu, lalu mengapa engkau masih begitu bodoh untuk terus menyembahnya?"
Namrudz dan kaumnya terhenyak mendengar argumentasi Ibrahim a.s. Akal sehatnya tidak dapat menolak argumentasi yang sungguh-sungguh kuat seperti itu. Akan tetapi kesombongannya kemudian membuat hati mereka mengeras dan berkepala batu. "Jika aku benarkan si Ibrahim itu, bagaimana nanti kedudukanku di hadapan rakyatku? Tidakkah mereka akan melihat Ibrahim lebih baik dariku? Tidakkah itu akan merendahkan martabatku? Jangan-jangan setelah aku akan kehilangan kekuasaanku..." Demikianlah kira-kira pergulatan batin di hati Namrudz. Akhirnya nafsu dan kesombongannya memukul KO akal sehatnya. Meskipun akal sehatnya tidak dapat menolak kebenaran argumentasi Ibrahim a.s., namun karena nafsu dan kesombongannya hukuman bakar dijatuhkan kepada Ibrahim.
Kisah Ibrahim a.s. tersebut menggambarkan dengan baik pertarungan antara akal sehat dengan nafsu dan kesombongan. Sekaligus kisah itu memperingatkan kepada kita bahwa mungkin saja nafsu dan kesombongan mengalahkan akal sehat. Dalam kehidupan modern kita sehari-hari pertarungan tersebut juga dapat kita temukan di mana-mana. Ia dapat berupa berbagai konflik yang ada di sekitar kita. Akan tetapi, sesungguhnya di dalam diri kita setiap hari terjadi pertempuran yang seru antara dua kubu tersebut.
Cobalah bertanya kepada para perokok. Adakah di antara mereka yang tidak mengetahui bahaya dan kerugian merokok terhadap diri mereka? Saya sangsi pada jaman seperti ini akan ada yang bisa menemukan orang tersebut. Namun, berhentikan mereka merokok? Meskipun akal sehat mereka mengetahui bahaya-bahaya dan kerugian merokok? Justru banyak orang tidak berhenti!! Tanyalah pada sesiapa saja, adakah yang tidak tahu bahwa berbohong itu, sekecil apapun, akhirnya akan menyulitkan dan merugikan diri sendiri? Saya yakin tidak ada yang tidak tahu. Tapi, berapa orang yang kemudian bersungguh-sungguh berusaha berhenti berbohong dalam hidupnya? Terus terang saya sangat mengkhawatirkan diri saya sendiri.
Contoh-contoh itu hanyalah sekelumit yang mudah ditemukan dan dikemukakan. Akan tetapi, sesungguhnya pada setiap hal yang akan kita lakukan dan atau kita putuskan selalu terjadi pertempuran itu. Tidak henti-hentinya nafsu dan kesombongan melancarkan jab dan hook yang mematikan pada akal sehat. Yang akhirnya membuat akal sehat terkapar di atas ring hati kita. Meskipun telah disediakan banyak pelajaran hidup kepada sang hati dalam diri kita, tetap saja tidak mudah bagi akal sehat untuk memenangkan pertarungan itu. Bahkan bila ada nasehat yang masuk, dengan mencibir kita mempertanyakan "emangnya siapa loe? golongan apa loe? umur berapa loe?". Itulah pukulan-pukulan hook dan jab sang nafsu dan kesombongan. Tidak penting bahwa pukulan itu tidak indah atau bahkan menabrak aturan main, yang penting sang akal sehat bisa terkapar KO.
(Naudzubillah min dzalik. Ya Allah, tunjukkanlah yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Dan berilah kekuatan kepadaku agar dapat memenangkan di dalam diriku yang haq itu atas kebathilan.)
Selengkapnya....
01 Oktober, 2009
Ujian Nasional Remidi
Orang sudah mahfum bahwa musibah yang menimpa seseorang itu bisa berarti hukuman bisa juga berarti ujian. Ia menjadi hukuman bagi orang-orang yang ingkar dan menjadi ujian bagi orang-orang yang beriman. Demikianlah, tentu kita akan meletakkan musibah yang tengah menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat dalam kelompok ujian. Itu karena kita tidak mau meletakkan diri kita sendiri ke dalam kelompok orang-orang yang ingkar. Naudzubillahi min dzalik. Namun, terbetik juga pertanyaan, mengapa kita harus menerima ujian itu lagi dan lagi?
Ya, mengapa kita harus menghadapi ulang ujian-ujian itu? Sebenarnya hal tersebut tidaklah aneh benar, karena pada dasarnya seluruh hidup kita ini berisi ujian. Bagi seorang siswa, terdapat dua kemungkinan kenapa ia harus menghadapi lagi soal-soal ujian. Kemungkinan pertama adalah bahwa ia merupakan seorang siswa yang cerdas. Banyak sekolah sekarang ini menyediakan kelas-kelas akselerasi, atau kelas-kelas dengan sistem modul. Seorang siswa yang telah menyelesaikan satu modul, setelah belajar dengan cepat ia dapat mengambil ujian berikutnya. Ia tidak perlu menunggu waktu yang reguler untuk menyelesaikan ujian-ujian yang harus dilaluinya. Semakin pintar ia, semakin cepat ia harus menghadapi ujian berikutnya. Setiap kali melewati satu ujian ia merasa lebih bersyukur.
Tapi, ujian juga bisa diberikan lagi kepada siswa yang tidak memenuhi standar ketuntasan minimal. Ujian yang demikian umum disebut sebagai remidi. Siswa harus menempuh remidi karena ia dianggap tidak lulus ujian sebelumnya. Remidi bisa berkali-kali bila si siswa tidak juga berhasil memenuhi standar ketuntasan minimal tersebut. Bila demikian, tentu kita tidak suka menyebutnya sebagai siswa yang pintar. Si siswa sendiri sangat mungkin merasa semakin tertekan bilamana waktu ujiannya tiba.
Jadi, ujian berupa bencana yang bertubi-tubi bagi kita tersebut ujian peningkatan kompetensi atau ujian remidi? Marilah kita lihat perbedaan dari kedua kategori ujian tersebut. Bagi kategori pertama, tingkat kesulitan ujian yang dihadapi tidak akan sama antara satu ujian dengan ujian berikutnya. Kepada seorang siswa kelas 2, tidak akan diberikan "hanya" soal-soal yang dimaksudkan untuk siswa kelas 1. Tingkat kerumitan soal akan meningkat. Sebaliknya dengan soal ujian remidi, "tingkat kesulitannya" sama meskipun soalnya berbeda. Bahkan pada kasus remidi yang berulang-ulang, mungkin guru akan menurunkan tingkat kesulitan tersebut.
Maka, kita bisa melihat ujian bencana yang diberikan kepada bangsa ini: apakah "tingkat kesulitannya" sama atau berbeda dari satu ujian ke ujian berikutnya. Saya pribadi sangat khawatir bahwa sebenarnya tingkat kesulitan soal yang diberikan kepada kita itu sama saja. Artinya, saya sangat khawatir bahwa kita ini adalah murid-murid yang tidak pintar yang masih harus menempuh remidi. Apakah saya mendasarkan kekhawatiran ini pada fakta bahwa bencana yang diberikan kepada kita ini sama dari waktu ke waktu? BUKAN!!! Apalagi berharap bahwa skala dan intensitas bencana yang lebih besar untuk menyesuaikan dengan pandangan bahwa tingkat kesulitan yang lebih besar berarti kita ini naik kelas. SAMA SEKALI BUKAN ITU!
Tingkat kesulitan TIDAK BERARTI intensitas bencana. Jadi, gempa bumi dengan skala richter yang lebih besar BUKAN BERARTI tingkat kesulitan ujian yang lebih tinggi. Bayangkanlah soal berhitung untuk siswa kelas 1 SD. Berapa 2 + 2? Soal ini begitu sederhana. Mudah dipahami apa yang ditanyakan. Tidak memerlukan pemahaman konseptual yang rumit untuk menangkap inti dari pertanyaannya. Bayangkan dengan soal-soal yang diberikan untuk siswa-siswa pada level pendidikan yang lebih tinggi. Diperlukan upaya pemahaman konseptual yang lebih keras hanya untuk menangkap maksud soal yang sebenarnya, meskipun dengan simplifikasi yang intensif esensinya sama saja dengan soal anak-anak SD. Secara sederhana, soal 2+2 = ... itu tingkat kesulitannya sama saja dengan 200 + 200 = ... Dan, a+1 = 3 lebih memerlukan pemahaman konseptual tentang apa yang dipertanyakan (baca: tingkat kesulitannya lebih tinggi) dari pada 2+2 = ... Meskipun besaran angkanya lebih rendah, tetapi tingkat kesulitannya lebih tinggi. Jadi ujian hidup yang lebih tinggi tingkat kesulitannya, bukan berarti harus berupa bencana yang lebih besar.
Lalu, apa dasar kekhawatiran saya? Karena ujian yang diberikan berupa bencana, maka mungkin kita ini masih siswa tingkat rendah. Mengapa? Karena soalnya begitu mudah dipahami apa yang dipertanyakan. Marilah kita lihat soal "ujian nasional" kita kali ini. Ya, ini adalah ujian nasional karena meskipun kasusnya terjadi di Sumbar tetapi sebenarnya soalnya harus diselesaikan oleh semua anggota bangsa ini. Kasus soalnya hanya satu, yaitu bencana gempa bumi. Tetapi maksud soalnya bermacam-macam tergantung siapa dan dimana kita. Bagi mereka yang terkena langsung bencana tersebut maka ujiannya adalah soal kesabaran. Jelas bagi kita bahwa adanya bencana menuntut kesabaran pada yang mengalaminya. Akan tetapi mudahkah kita memahami bahwa tanpa bencanapun kita ini dituntut kesabaran? Begitu tidak sabarannya kita selama ini pada masa-masa tidak ada bencana. Begitu mudahnya kita ini marah kepada saudara kita sendiri. Begitu tergesa-gesanya kita sampai-sampai melanggar berbagai rambu agama. Tergesa mau kaya, maka korupsi. Tidak sabar menunggu waktu ketemu tempat sampah, maka sampah kita buang di sembarang tempat. Tidak sabar menunggu terkumpulnya keuntungan dalam berdagang, maka kita tidak jujur dalam berjualan. Dan masih banyak lagi contoh lain. Pada waktu itu kita tidak pintar membaca soal ujian hidup kita: "kamu harus bersabar". Maka Sang Maha Guru "menurunkan" tingkat kesulitan soal agar lebih mudah dipahami bahwa dalam hidup dituntut kesabaran, dan terjadilah apa yang dikehendakiNya.
Bagi kita yang tidak terkena langsung, bencana itu adalah ujian ketaqwaan. Sesama muslim adalah saudara, persaudaraan seiman. Begitulah kita ini diperintahkan, yaitu memperlakukan mereka yang seiman sebagai saudara. Menerapkan hal ini dalam kehidupan merupakan wujud dari ketaqwaan. Sebaliknya, berarti kita mengacuhkan perintah - yang juga bermakna kita kurang bertaqwa. Jelas bahwa bencana menuntut rasa persaudaraan di antara keluarga satu bangsa. Dituntut bagi kita untuk menolong saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana. Ini adalah soal ujian dengan tingkat kesulitan yang mudah dipahami. Akan tetapi, tanpa bencana itu kita seakan sulit memahami bahwa kita ini bersaudara. Saling fitnah, menumbuhkan kebencian satu dengan yang lain, saling merendahkan antar kelompok, merasa yang paling benar, dan tidak rajin saling tolong dalam kebaikan. Agaknya tanpa bencana itu kita tidak mampu memahami soal ujian ketaqwaan dari perintah untuk bersaudara. Barangkali itulah sebabnya Allah menurunkan bencana, agar kita bisa memahami soal ujianNya. Karena bencana itu adalah soal ujian yang lebih mudah.
Bagi kita sebagai sebuah bangsa, agaknya bencana ini adalah soal tentang bagaimana hidup berjamaah. Dengan bencana mudah bagi kita memahami bagaimana sebagai sebuah bangsa pemimpin harus memperhatikan rakyatnya, pemimpin harus memberi teladan kepada yang dipimpin. Di masa tanpa bencana mungkin kita ini tidak memahami soal yang diberikan sehingga pemimpin tidak memperhatikan dan memberi teladan yang dipimpinnya. Mudah-mudahan kita kali ini lulus ujian remidi ini dan dapat belajar bagaimana harus membaca soal pada waktu berikutnya.
29 September, 2009
Bertanyalah.
Saya masih ingat bagaimana rasanya saat pertama kali menjalankan tugas mengajar. Dada berdegup-degup. Gembira dan bahagia karena merasa mendapat kepercayaan (meski gajinya kecil kalau dibandingkan kesempatan kerja yang saya tinggalkan). Saya buat persiapan sebaik-baiknya: bikin rencana pembelajaran yang cukup rinci; menyiapkan slide-slide (masih pakai transparansi waktu itu). Dan yang terpenting, menyiapkan penguasaan materi sebaik-baiknya agar tidak memalukan karena tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan di kelas.
Begitulah. Hari pertama mengajar di kelas betul-betul pengalaman yang exciting. Segala persiapan yang telah kulakukan rasanya cukup untuk membuat diri confident. Segalanya berjalan lancar, sebagaimana yang kuharapkan. Namun, tetap ada terselip perasaan was-was kalau-kalau ada mahasiswa yang iseng mencoba ngetes dosennya. Kalau ada yang mengajukan pertanyaan untuk ngetes saya, tentu berupa pertanyaan yang menyudutkan yang diperkirakannya tidak dapat saya jawab. Dan bila akhirnya saya benar-benar tidak bisa menjawab, wah kiamat ... sungguh-sungguh memalukan. Tidak sanggup saya, saat itu, membayangkan hal itu akan terjadi.
Cekaman bayang akan terjadinya hal itu sedikit banyak membuat saya tegang selama kuliah pertamaku. Meski demikian, beberapa kali saya berikan kesempatan kepada penghuni kelas untuk bertanya: "Ada yang mau bertanya?" Tidak ada tangan yang diangkat. Lega! Berarti mereka mengerti apa yang kubicarakan, dan tidak ada yang iseng mau ngetes. Begitulah kesimpulan yang kubuat sendiri atas situasi yang kuhadapi itu. Hingga akhirnya, di penghujung kuliah tersebut saya ulang lagi pertanyaan saya: "Ada pertanyaan?". Dan, tidak ada tangan yang diangkat lagi. Plong, begitu perasaan yang ada karena menganggap bahwa itu adalah kesuksesan pertama saya dalam mengajar. Mereka terlihat serius memperhatikan kuliah dan tidak sampai menimbulkan pertanyaan. Jadi saya anggap apa yang saya sampaikan telah jelas bagi mereka.
Menghadapi kuliah-kuliah berikutnya saya semakin merasa percaya diri. Dari satu kuliah ke kuliah berikutnya kejadiannya selalu seperti itu. Hampir tidak ada pertanyaan - kalau tidak boleh dibilang tidak ada yang bertanya. Ya... memang ada satu dua yang bertanya, tetapi itu hanya menanyakan kalimat saya yang tidak jelas atau tulisan yang kurang terbaca (bukan tulisan saya yang sangat buruk, tetapi kadang dari posisi tertentu tulisan spidol di whiteboard kabur karena kesilauan - he he he he). Hal yang demikian membuat saya merasa bahwa saya memang berbakat jadi dosen (???).
Beruntung, selang beberapa lama saya dihinggapi pertanyaan introspektif: "masa iya saya secanggih itu?" Apa benar mereka tidak bertanya karena sudah paham apa yang saya bicarakan, sudah mengerti, sudah mengetahui? Lalu, esoknya saya berinisiatif untuk menguji pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut itu. Pada penghujung kuliah saya tawarkan lagi kalau ada yang bertanya, ternyata tidak ada yang bertanya. Lalu saya sampaikan ke kelas, "Oke, sekarang kita kuis". Hebohlah kelas. Dan.... hasilnya benar-benar tidak seperti yang saya harapkan. :((
Jadilah waktu-waktu sesudah itu arena perenungan, menguji lagi kesimpulan-kesimpulan yang telah saya buat sebelumnya. Apakah orang bertanya itu karena tidak tahu dan yang tidak bertanya itu sudah tahu? Yah, akhirnya kutemukan simpul masalahnya. Asumsi bahwa orang tidak bertanya karena sudah tahu dan bertanya karena sudah tahu inilah sumber masalah saya. Mengapa orang bertanya? bukan karena tidak tahu. Banyak hal yang kita tidak tahu tetapi kita tidak akan pernah menanyakannya. (Misalnya: siapa istri ketua RW di lingkungan yang kita tidak tinggal di dalamnya.) Itu karena hal tersebut tidak penting bagi kita sehingga tidak mempunyai daya dorong agar kita bertanya. Jadi orang bertanya lebih karena ingin tahu, dan bukan karena tidak tahu. Sebaliknya orang tidak bertanya bukan berarti karena sudah tahu, tetapi lebih karena tidak ingin tahu. Jadi kalau mereka di kelas saya tidak bertanya berarti ......?
Apa lagi setelah saya rasakan beberapa saat, kelas-kelas yang demikian sungguh membosankan. Lagi-lagi saya dihinggapi pertanyaan: "Jangan-jangan merekalah yang bosan melihat gaya dan cara saya di kelas?" Rupanya, inilah tantangan besar yang sebenarnya dari seorang pengajar: bagaimana melakukan perubahan dalam diri kita sehingga membuat kelas-kelas menjadi lebih hidup - itu artinya banyak pertanyaan dan diskusi. Pembelajar yang bertanya adalah mereka yang ingin tahu dan telah mempersiapkan diri untuk mengetahui dan belajar lebih banyak. Diskusi yang terjadi adalah proses konstruksi pengetahuan di dalam dirinya. Akhirnya saya mahfumi, kalau ada mahasiswa yang bertanya dan saya tidak memiliki jawabannya - itu berarti SUKSES BESAR. Ya, sukses besar. Karena itu berarti bahwa saya berhasil membangkitkan kemauannya belajar hingga mencapai batas melebihi apa yang telah saya ketahui. Sebagai guru, itu berarti kesuksesan mengantarkan sang murid menjadi pintar. Saya tidak perlu malu lagi kalau muncul pertanyaan yang saya tidak bisa jawab, dan saya tidak perlu berburuk sangka bahwa mereka yang bertanya sedemikian ini punya maksud ngetes. Mudah-mudahan renungan ini menjadi pelajaran bagi guru-guru lain maupun bagi mereka yang sedang belajar di kampus-kampus.