Begitu banyak nikmat Allah yang kita terima tetapi kita, dengan mata picik kita, memandangnya sinis. Posting sebelumnya tentang rasa sakit mengilustrasikan hal ini. Itu hanya salah satu contoh saja. Melanjutkan posting sebelumnya, posting ini mendiskusikan hal lain yang seringkali juga kita benci, sifat suka mencari kesalahan orang. Adakah sebenarnya sifat-sifat ini merupakan rahmat Allah kepada manusia atau justru kesia-siaan saja?
Adakah di antara kita yang tidak memiliki "keahlian" mencari-cari kesalahan orang lain? Saya belum melakukan survey, dan belum menemukan laporan hasil survey tentang hal tersebut. Tapi, boleh dibilang dari semua orang dalam pergaulan saya tidak ada yang tidak memiliki "keahlian" ini (termasuk penulis, tentu saja :D ). Jujur saja, membicarakan kesalahan orang lain itu nikmat sekali (dibandingkan soto madura, nikmat mana yahh?). Pembicaraan terasa gayeng, menarik, dan memikat ketika kita membicarakan kesalahan orang lain. Hal-hal ini, hanya menegaskan bahwa kesukaan itu memang sifat kita-kita semua. Padahal, siapakah di antara kita yang bisa terpikat dan menikmati pembicaraan orang lain tentang kesalahan dan kekurangan kita? Andakah? Saya betul-betul mengkhawatirkan diri saya tidak termasuk orang yang demikian ini.
Jadi..., intinya adalah kita tidak suka kalau orang lain menjelek-jelekkan kita, mengupas-upas kekurangan dan kesalahan kita, apa lagi memaparkannya dalam suatu majelis. Sungguh kita membenci situasi ini. Makanya sebagian kita berdoa semoga Allah menutupi aib-aib kita, karena, adakah di antara kita yang tidak memiliki aib? Makanya wajar kemudian kalau kita ini membenci sifat suka mencari kesalahan orang lain, meskipun sifat tersebut kita juga memilikinya. Kenapa Allah memberikan sifat yang sedemikian itu kepada kita? Adakah rahmad di dalam sifat tersebut?
Jujur saja, saya termasuk orang yang mengkomersialkan sifat suka mencari kesalahan orang lain yang ada dalam diri saya (dasar dosen! ha...ha...ha...ha). Pekerjaan saya menuntut saya mampu mengeksploitasi kesukaan tersebut secara profesional (wuihhh bahasanya.) Demikianlah adanya. Sebagai dosen saya secara rutin harus mengkoreksi pekerjaan para mahasiswa. Bayangkan kalau saya tidak suka mencari-cari kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan tugasnya - maka tidak ada istilah nilai jelek (bukan berarti harus memberi nilai jelek lho!). Itu berarti tidak ada nilai baik (karena tidak bisa lagi dibedakan yang baik dan yang jelek). Itu juga berarti tidak perlu lagi istilah "lebih", misalnya lebih baik atau lebih jelek. Selanjutnya tidak perlu juga ada istilah standar atau baku - untuk menilai baik atau jelek. Maka tidak perlu juga norma - atau kumpulan baku. Maka tidak perlu lagi hukum, karena bukankah hukum itu untuk membedakan yang benar dan yang salah (yaitu menemukenali apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah). Kalau secara hukum, tidak dapat dibuktikan kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut tidak bersalah! Bukankah demikian adanya?
Jadi, begitu pentingnya sifat suka mencari kesalahan yang melekat pada manusia untuk membangun kebudayaan (wahh...! orang jawa bilang "kaboten" - terlalu berat nih). Tapi, (bahasanya orang yang nggak ikhlas nih) bukankah sangat tidak nyaman dicari-cari kesalahan kita oleh orang lain? Jawabnya, siapa bilang jadi pesakitan itu nyaman? Ya pasti tidak nyamanlah... Masalahnya, sifat seperti ini menjadi alat bagi manusia untuk membangun peradabannya. Sebagai sebuah alat, maka nilainya tergantung pada penggunanya. Jika pisau digunakan untuk merampok, membunuh orang, mengancam, atau melakukan perusakan maka pisau sungguh menakutkan dan mengerikan. Kalau karena alasan itu maka dibuat undang-undang pelarangan produksi, penyimpanan, dan pemakaian pisau, maka ibu-ibu rumah tangga yang akan mendemonya. Mereka memerlukannya di dapur. Demikianlah, hal yang sama juga terdapat pada sifat suka mencari kesalahan orang lain. Kalau ia digunakan secara profesional dan bermartabat (seperti guru, dosen, atau praktisi hukum misalnya, he..he..he..) maka ia bernilai positif. Akan tetapi jika ia digunakan selain dengan cara itu, maka ia bernilai negatif. Sungguh, tidak ada sesuatupun ciptaan Allah yang sia-sia. Betapa picikpun pandangan kita terhadapnya
Hati-hati Minum Teh Cina
12 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar